Sabtu, 26 Desember 2009

BUKAN YANG KU KENAL

Cerpen kedua di blog ini.
catatan harian dista yang kembali kelam..
Larut dalam kesedihan yang belum bisa aku kendalikan


Beranjak dari malam yang selalu penuh arti untukku. Meski tak pernah aku menjajaki keindahan dunia malam. Menerjang pagi yang selalu ada matahari. Ayo bangun! Sorak pada diriku sendiri. Aku belum sholat. Wah gawat! Bisa-bisa Tuhan marah padaku.
Ketakutan pada-Nya memang selalu ada. Tapi tak selalu membuat garang pelaku yang merugikan.
"Cepat ganti baju" bapak berucap kepadaku dengan membetulkan tali sepatunya yang tak karuan.
"Mau kemana?" balik ku bertanya.
"Jangan sia-siakan pagi ini hanya dengan selimut baumu itu. Hah ayo cepat!!"
Aneh fikirku. Apa ini terapi untuk menyembuhkan penyakit bengek yang aku derita selama 7 tahun belakangan ini. Sial, aku jadi gagal dengerin rudi nyapa kanca muda. Padahal pagi ini radio aktif bagi-bagi uang. Lumayan buat nambah uang saku.
"Siap" gayaku mengangkat tangan selayaknya hormat kepada sang saka.
Jarang aku jalan-jalan berdua bersama bapak. Biasanya dia lebih enak nonton tipi. Berita di tv pemerintah yang sering aku bilang ah... negara ini makin keren saja. Mencuri 3 kakao saja bisa masuk berita utama, kalah dengan mereka yang mencuri uang negara bertriliyunan rupiah.
Seperempat jogging, nafasku sudah ngos-ngosan. Masih lumayan daripada lumanyun. Dibanding dengan upacara setiap hari senin. Seperempat jalannya upacara saja aku sering pingsan. Dan sekarang sudah mendapat catatan keras kalau Dista Ayu kelas XII IPA 1 tidak boleh mengikuti kegiatan keras seperti upacara.
"telephon siapa pak?" tanyaku sambil mengusap keringat di leherku.
"bapak yakin kamu sudah dewasa, sudah bisa mengerti apa yang seharusnya akan terjadi" dengan mencoba menelpon seseorang beberapa kali.
Peduli apa aku pada orang yang akan dia telephon. Biasanya juga dia tak pernah peduli dengan siapa-siapa yang sekarang menjadi temanku.
"halo.. Ma sudah bangun?"
Samar terdengar, mungkin ayah menelphon mamad. Pegawainya di CV. Bumi Pertiwi. Huft .. Capek. Berhenti sambil minum susu anget di warung langganan enak juga. Ada molen selai coklat. Wah mantap. Paling mahal paling cuma bayar 3 ribu.
"Ada seseorang yang ingin bicara padamu" sambil menyodorkan hp standart seharga 250 ribu padaku.
"Siapa?" tanyaku ringan.
Mamad pengen ngomong apa? Pasti dia hanya ingin menggangguku dengan rayuan-rayuan yang tak jelas. Bilang aku cantik, lucu, dan selalu bisa membuat mimpi indah di dalam tidurnya. Hahaha, guyonan dalam hati kecilku.
"Hallo, moshi moshi mamad san.. dijemur di proyek ya!! Kasihan. Selamat merayakan natal ya. Semoga mendapatkan berkah dari Tuhan" nyerocos layaknya pembawa berita di pojok kampung.
"Selamat pagi dista"
"Pagi, siapa ini? Maaf tadi aku fikir anda Mamad pegawainya bapak"
"Ini Susanti" suara lemah lembut memperlihatkan usianya yang belia.
"Ow.. ada yang bisa saya bantu?" tanyaku sopan mengganggapnya seperti teman-teman bapak yang lain.
Banyak sekali yang dia tanyakan, tentang sedekat apa hubunganku dengan bapak, aku sekolah dimana, besok mau ngelanjutin dimana, dan lain-lain yang pokoknya bisa dianggap buanyak. Pertanyaan yang wajar. Dan tidak terlalu susah untuk aku jawab.
Aku kembalikan hp itu pada yang punya. Sekali lagi siapapun dia aku tak mau peduli. Lebih penting susu ini yang kalau tidak segera diminum bisa jadi anyep. Sruput!! Hahaha... jangan sampai tersedak karena terdesak.
"Dia sayang sekali pada bapak, dia juga pekerja keras"
"Ibu memang pekerja keras pak, sampai sering ke dokter gara-gara kecapekan".
"Bukan ibu, tapi dia. Tante Susanti"
"Ow..lalu?"
"Maafkan bapak, bapak tetap sayang kalian. Kalian penting buat bapak. Dista, bimo, dan ibu tetap akan ada disamping bapak"
Apa maksud dari semua ini. Aku memang anak yang Plele'an. Tak pernah pedulikan apa yang tak penting buatku. Tapi ini.. Aku fikir ini hanya angin belaka yang sempat terdengar di telingaku. Aku fikir ini hanya akan jadi tulisan yang berjudul "Ketika Ayahku Berpindah ke Lain Hati". Ternyata ini nyata. Bukan lirik belaka.
Sebutan Ma itu bukan untuk Mamad tapi untuk dia yang dipanggil mama. Sontak tubuhku seperti dihimpit besi. Sakit. Tapi tak bisa aku menangis di depannya. Tak bisa aku untuk bilang aku tak terima dengan semua ini. Menjadikan ini sebagai penyakit pribadi dan hanya aku yang rasa. Hanya aku yang tahu. Bapakku brengsek. Kata kotor yang selalu terucap semenjak kejadian itu. Seberapapun dia menyogokku dengan uang spp, uang les, beli pulsa, dan uang apalah itu. Semua tak bisa mengganti rasa sakitku. Yang aku lakukan sekarang hanya memendam rasa ini, dan tak ingin ibu merasakan sakit yang aku rasa juga.
Haruskah aku menampar bapakku sendiri. Tak mungkin itu ku lakukan. Sekarang aku hanya diam disini. Menunggu apa yang akan terjadi nanti. Percuma jika aku menyuruhnya untuk berhenti. Tahta itu tak berpihak padaku. Usia dan jabatannya membuat aku harus tunduk.

1 komentar:

  1. Lumrah dan wajar.
    Namax jg cow.
    Orng tua sdh mempunyai perhitungan sndiri atas tanggung jwbx.

    Tnggl kmu ja yg menyikapix.

    BalasHapus